Selasa, 14 Juni 2016

Tingkat kesadaran dapat dinilai melalui Glaslow Skala Coma



Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, para perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini perawat menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan. Perawat harus diberi kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri didukung oleh pengetahuan dan pengalaman kerja dibidang keperawatan (Lokakarya Nasional Keperawatan I, 1983). Hal ini diperkuat dengan keluarnya UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, UU No.2/1989 tentang system pendidikan nasional serta surat keputusan menteri kesehatan no. 647/2000 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukukannya sebagai profesi di Indonesia. Khususnya dalam melaksanakan asuhan keperawatan yaitu kegiatan professional yang dinamis membutuhkan kreativitas dan berlaku rentan  dalam kehidupan dan keadaan, dalam upaya untuk meningkatkan  kualitas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dalam menghadapi berbagai macam keluhan maupun penyakit pasien yang beranekaragam yang menuntut ketelitian dan pengalaman perawat dalam melakukan pengkajian sebagai tahapan awal dalam asuhan keperawatan          (Taylor,1997)

Salah satu proses yang membutuhkan ketelitian dan pengalaman adalah peemriksaan neurologis, yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan yang sangat spesifik. Walaupun pemeriksaan neurologis sering terbatas pada pemeriksaan yang sederhana, namun hal ini penting diketahui oleh orang yang melakukan pemeriksaan, sehingga mampu untuk melakukan pemeriksaan neurologik dengan teliti dengan melihat riwayat penyakit, keadaan-keadaan fisik dan tingkat kesadaran (Smeltzer, 2002)
Tingkat kesadaran dapat dinilai melalui Glaslow Skala Coma (GCS). Penilaian GCS yaitu suatu skala pengukur untuk menentukan derajat penurunan kesadaran seseorang. GCS memberikan tiga bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsive pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien  yang mengalami gangguan system persyarafan. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam pengkajian neurologik yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respons membuka mata. Elemen-elemen ini selanjutnya dibagi menjadi tingkat-tingkat yang berbeda, dan respons-respons yang baik yang ditunjukkan pasien terhadap stimulus yang ditentukan sebelumnya. Masing-masing respons diberikan sebuah angka (tinggi untuk normal dan rendah untuk gangguan), dan penjumlahan dari gambaran ini memberikan indikasi beratnya keadaan koma dan sebuah prediksi kemungkinan yang terjadi dari hasil yang ada. Nilai terendah adalah 3 (respons paling sedikit ) dan nilai tertinggi adalah 15 (paling berespons). Nilai 7 atau dibawah 7 umumnya  dikatakan koma dan membutuhkan intervensi keperawatan bagi pasien koma tersebut.
Untuk memberikan intervesi keperawatan yang cepat, tepat dan akurat dibutuhkan kemampuan perawat dalam menilai GCS. Kemampuan perawat yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan aptitude (Stancope,1996). Pengetahuan perawat melalui tingkat pendidikan yang diperoleh dan ketrampilan yang diperoleh dari lamanya ia bekerja atau pengalaman kerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan di rumah sakit.
Penelitian tentang GCS telah banyak dilakukan. Namun penelitian tersebut lebih banyak berfokus pada masalah yang berkaitan dengan tindakan/asuhan medik. Misalnya menyimpulkan pasien dengan pendarahan intracerebral pada pemeriksaan neurologi didapatkan skala GCS 13-15 sebanyak 67% sebagai salah satu alat untuk menunjang diagnostik klinik perdarahan intrakranial. Hal ini mungkin terjadi karena penelitian mengenai penilaian GCS lebih banyak dilakukan oleh dokter saja. Pada kenyataannya penilaian GCS sebagai salah satu pemeriksaan neurologis perlu juga dilakukan oleh perawat untuk menentukan intervensi keperawatan yang tepat karena perawat sebagai orang pertama yang menerima pasien kemudian melakukan pengkajian dan pemeriksaan pada pasien terutama pada pasien dengan gangguan sistem persyarafan atau pasien yang mengalami gangguan kesadaran akibat penyakit sistemik; juga karena perawat  lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, sehingga observasi perawat sangat penting dalam menilai perubahan status neuorologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar konsisten dalam membandingkan dipakailah format standar seperti GCS.
Berdasarkan pengalaman, pengamatan peneliti terhadap teman seprofesi perawat di RS.Stella Maris Makassar, dari 6 orang perawat yang ditanyakan mengenai penilaian GCS, 5 orang diantaranya tidak dapat memberikan penilaian GCS secara cepat, tepat dan akurat. Dalam mengisi format pengkajian pasien terutama pengkajian khusus, beberapa perawat mengosongkan tabel pada tahap penilaian GCS.
Jangan sampai terjadi ada pasien yang meninggal disebabkan karena perawat tidak tahu menilai GCS sehingga intervensi yang diberikan tidak tepat. Oleh karena itu penilaian kesadaran memakai GCS merupakan keharusan untuk dikuasai oleh setiap perawat (yayasan ambulans gawat darurat 118).
Namun kenyataan dari pengamatan penulis di RS.Stella Maris Makassar, perawat lulusan SPK yang memiliki pengalaman kerja lebih dari 5 tahun tidak dapat memberikan penilaian GCS  dengan tepat.  Pada perawat lulusan D3 dengan pengalaman kerja lebih dari 2 tahun ada yang tidak  dapat memberikan penilaian GCS dengan tepat, dari 3 orang yang ditanya, hanya 1 orang yang bisa menilai GCS dengan benar.  Dan pada perawat lulusan D3 dengan pengalaman kerja  kurang dari 2 tahun juga ada yang tidak dapat memberikan penilaian GCS dengan tepat.



Download contoh skripsi gawat darurat

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4 

Senin, 23 Mei 2016

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA LUKA DEKUBITUS (CONTOH PROPOSAL)



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, pasien yang lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu lama, bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit. Menurut Chapman dan Chapman, 1986, hal.106, mendefinisikan dekubitus sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “ iskemia tekanan “ maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan (Moya J.M, 2004).
Pasien yang berada di tempat tidur untuk waktu yang lama, pasien dengan disfungsi motorik atau sensorik, dan pasien yang mengalami atrofi muskular dan reduksi bantalan antara kulit di atasnya dengan tulang di bawahnya cenderung untuk mengalami dekubitus (Brunner dan Suddarth, 2002).
Ulkus dekubitus dapat berkembang dalam beberapa jam saja bila tindakan perawatan tidak tepat dan kurang berhati-hati. Kulit yang memerah merupakan suatu tanda bahaya. Ulkus dekubitus yang menyembuh juga sangat rentan untuk kembali rusak. Penyembuhan agaknya lebih ditentukan oleh kesehatan umum dari pada perawatan lokal saja (T.Declan Walsh, 1997).
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5 – 9,4 % dari populasi umum orang dewasa yang dirawat di rumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al, 1997; Jordan dan Nicol, 1977; David et al, 1983). Pada populasi pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, insidens dekubitus dapat menjadi jauh lebih tinggi (Exton-Smith, 1987).
Keberhasilan pengobatan dekubitus melalui pembedahan dimulai pada saat perang dunia II ketika para dokter dihadapkan pada meningkatnya jumlah pasien muda yang menderita cedera saraf spinal. Pada saat yang sama, diketahui pula bahwa diet tinggi protein dibutuhkan untuk mengatasi keseimbangan nitrogen negative pada pasien dengan luka terbuka yang kronis (Mulholland et al, 1943). Sejak itu, meskipun pencegahan dan pengobatan dekubitus telah diteliti secara luas, hanya terdapat sedikit bukti yang menunjukkan adanya penurunan insidens dekubitus atau adanya suatu perbaikan dalam pengobatannya. Dalam penelitian besar yang dipublikasikan pada tahun 1983, perawat diketahui telah menggunakan 98 substansi yang berbeda untuk mengobati dekubitus (David et al, 1983). Insidens dekubitus dapat secara nyata diturunkan bila penanggungjawab di bidang kesehatan atau rumah sakit telah mengembangkan suatu kebijakan tentang pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diketahui dan dilaksanakan oleh semua karyawan (Livesley, 1987; Hibbs, 1988). Kebutuhan untuk mengenalkan pelayanan pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diorganisasi dan diaudit dengan tepat, telah disadari oleh para dokter dari Royal College (1986), tetapi kebanyakan dokter tidak memandang pencegahan dan penatalaksanaan dekubitus sebagai tanggung jawab mereka (Moya J.M, 2004).
Adapun faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai penunjang terhadap terjadinya dekubitus mencakup immobilitas, kerusakan persepsi sensori dan/atau kognisi, penurunan perfusi jaringan, penurunan status nutrisi, friksi dan gaya tarikan, peningkatan kelembaban, dan perubahan kulit yang berhubungan dengan usia.
Immobilitas. Bila seseorang tidak bergerak dan tidak aktif, jaringan kulit dan subkutan mengalami penekanan oleh benda di mana orang tersebut beristirahat, seperti kasur, tempat duduk atau traksi. Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan lamanya immobilitas. Jika penekanan berlanjut cukup lama, akan terjadi trombosis pembuluh darah kecil dan nekrosis jaringan, yang mengakibatkan dekubitus.
Kerusakan persepsi sensoro dan/atau kognisi. Pasien yang mengalami kehilangan sensori, penurunan tingkat kesadaran, atau paralysis dapat tidak merasakan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan tekanan berkepanjangan pada kulit. Oleh karenanya, mereka tidak akan mengubah posisi mereka untuk menghilangkan tekanan. Sehingga dekubitus dapat terjadi dengan periode yang sangat singkat.
Penurunan perfusi jaringan. Segala kondisi yang menurunkan sirkulasi dan nutrisi pada kulit dan jaringan subkutan meningkatkan risiko terjadinya luka dekubitus.
Penurunan status nutrisi. Defisiensi nutrisi, anemia dan gangguan metabolic juga mendukung terjadinya luka dekubitus.
Friksi dan Gaya Tarikan. Otot yang spastic dan paralysis meningkatkan kerentanan pasien terhadap luka dekubitus yang berhubungan dengan friksi dan gaya tarikan.
Peningkatan kelembaban. Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat perspirasi, urine, feses, atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi terhadap bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi. Kulit yang teriritasi lebih rentan terhadap terjadinya dekubitus.
Pengaruh usia lanjut. Pada lansia kulit mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen dermal, dan elastisitas jaringan. Oleh karena itu, lansia lebih rentan terhadap luka dekubitus.
Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mengambil 4 faktor di antaranya sebagai variabel penelitian yakni immobilitas, kerusakan persepsi sensori dan/atau kognisi, penurunan status nutrisi dan pengaruh usia lanjut.

Senin, 02 Mei 2016

FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA TUMOR PAYUDARA


Factor Makro  :
  • Penyebab  : tidak diketahui
  • Adanya Ca yang pernah dialami
  • Riwayat dalam keluarga
  • Kelainan payudara benigna     dalam periode fertile
  • Makanan, BB dan factor resiko lain
  • Faktor endokrin dan reproduksi
  • Anti konseptiva oral 
Faktor Penting untukPrognosis :
Keadaan payudara hiperplastik      benigna dan maligna. Tumor berkembang dari epitel duktuli dan lobuli. Ditemukan pertumbuhan intra luminal tanpa filtrasi (stadium ini disebut carsinoma In situ). Kanker mengalami duplikasi yang konstan waktu ± 20 tahun untuk palpable) diameter 1-2 cm. Pertumbuhan yang amat cepat 20 hari      masa duplikasi preklinik    2 tahun. Diameter 1-2 cm      karsinoma dini secara klinik. Bentuk yang terpenting  : bulat, batas licin, sehingga jaringan sekitarnya seakan terdorong keluar. Kebanyakan kuadran atas lateral. 2/3 Tumor mempunyai bentuk bintang dengan perpanjangan yang berbeda ukuran.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk  :
  •  Edema kulit (peau d’orange)
  • Ulserasi
  • Mastitis; karsinatosa
  • Makin besar tumor makin tinggi terjadi metastasis.
  • Metastasis jarak jauh    tak sesuai cara distribusi CO  :
ü  Hepar 30%
ü  Kelenjar limfe 70%
ü  Paru 60%
ü  Tulang 50%
Metastasis melewati darah     sirkulasi darah dan terjadi pertumbuhan dari kapiler.
Diagnosis Karsinoma Payudara  :
  • Kebanyakan ditemukan sendiri oleh pasien
  • Penarikan dan pengerutan kulit
  • Persisikan atau eksema disertai atau tanpa kemerahan
  • Papilla mamma dan areola       paget.
  • Penggunaan obat-obatan anti kontrasepsi oral  (pil KB).
Pemeriksaan Fisik  :
1. Inspeksi dan palpasi   : setiap tumor ditentukan :
  • Ukuran dalam sentimeter
  • Bentuknya
  • Konsistensi
  • Adanya fiksasi pada kulit atau lapisan dibawahnya.
  • Periksa ketiak dan kelenjar supra klavikula
  • Curiga malignitas       palpasi hepar dan organ lainnya, tulang punggung, nyeri ketok dan nyeri tekan.

2. Pemeriksaan mamografi  :
  • Kelainan palpable
  • Indikasi    keluar cairan dari papilla mammae yang patologik.
3. Diagnostik tambahan  :
  • Ekografi
  • Biopsi jarum kecil atau besar
  • Galaktografi        memasukan kontras kedalam saluran susu.
  • CT Scan & MRI untuk tumor yang luas.
  • Triple Test  (+)  : Pemeriksaan Fisik, Fx.Sitologi, Mamografi
Dx.Differensial  :
  • Ginekomasti pada pria
  • Paget disease
  • Pengeluaran cairan dari papilla
  • Fibroadenoma. (wanita 20-35 tahun). Jaringan ganas       tetapi bila besar giant fibroadenoma.
  • Kista sarcoma phylloides

Klasifikasi Kanker Payudara

Tahap Ukuran Tumor
Keterlibatan Nodul
Metastasis
I.                   < 2 cm (T1)
II.                < 5 cm (T1,T2)

III.             > 5 cm invasi kulit, melebar pada dinding dada
IV.             Setiap ukuran (setiap T)
Tidak ada (N0))
Nodus axilla (N1) dapat berpindah
Nodus axilla tetap atau dapat berpindah (N1, N2).

Setiap Nodus
(Setiap N)
Tidak ada (M0)
Tidak ada (M0)


Tidak ada (M0)

Ya (M1)

Jenis-jenis Pembedahan Pada Payudara  :
1.      Lumpektomi  : pembuangan sederhana pada tumor
2.      Mastektomi partial : pembuangan tumor 1-3 inchi jaringan sekitarnya.
3.      Subcutaneus mastektomi : pembuangan semua jaringan yang mendasari terjadinya payudara, membiarkan kulit, areola dan putting.
4.      Mastektomi sederhana : menghilangkan seluruh payudara tetapi tidak dengan nodus axilla.
5.      Modifikasi mastektomi radikal : menghilangkan seluruh payudara (tanpa obat patoralis minor) dan menghilangkan beberapa nodus axilla.
6.      Mastektomi radikal : seluruh payudara, kelenjar linfe, axilla, peetoralis mayor dan minor, lemak dan fascia yang berdekatan dengan pembedahan.

Terapi Medis  :
  1. Pembedahan
  2. Terapi radiasi
  3. Kemoterapi / chemo therapy

TINDAKAN KEPERAWATAN

Pengkajian  :
  • Identifikasi factor resiko
  • Tanyakan bagaimana klien menemukan benjolan
  • Sebelum pembedahan        stress.
  • Persepsi pasangan
  • Kaji tingkat pengetahuan, keprihatinan sexual
  • Bantu pasangan dalam planning
  • Reaksi thd pembedahan
  • Pengkajian luka, drain, limpadema, gejala infeksi, nyeri.
Diagnosa Keperawatan  :
1.      Kurang pengetahuan b/d pembedahan dan pengobatan
Perencanaan : Outcome yang diharapkan  :
Klien bertanya dan menyatakan pendapat tentang pembedahan dan pengobatan.
Implementasi :
a.                   Beri info tentang pengobatan dan pembedahan sebelum operasi.
b.      Beri pengetahuan tentang aktivitas preoperasi, jelaskan jenis pembedahan, jelaskan perawatan post op, discharge planning, dan cara yang dapat diikuti.
c.                   Beri instruksi secara tertulis.
2.      Coping individu tidak efektif b/d diagnosa kanker :
Perencanaan : outcome yang diharapkan  :
Klien menerima perubahan dan mengambil kepuusan untuk berobat.
Implementasi :
  1. Kaji kemampuan koping klien dan SO sebelum op.
  2. Identifikasi koping mekanisme yang dapat digunakan klien/SO.
  3. Bantu klien mendapatkan koping yang efektif.
3.      Gangguan konsep diri : bodi image b/d perubahan payudara dan sexualitas :
Implementasi :
a.       Kaji problem body image dan sexualitas.
b.      Bantu memilih pelayanan kesehatan profesional (Social Worker Sex Therapis), ajak klien membicarakan masalahnya bersama klien lain yang menderita Penyakit yang sama. Wanita yang mengalami pembedahan payudara dapat merasa :
Þ    Perubahan kehidupan rutin.
Þ    Konsep diri : body image
Þ    Tekut kematian.
c.       Jika mengalami penurunan BB dan alopesia     sarankan memakai wig.