Senin, 23 Mei 2016

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA LUKA DEKUBITUS (CONTOH PROPOSAL)



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, pasien yang lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu lama, bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit. Menurut Chapman dan Chapman, 1986, hal.106, mendefinisikan dekubitus sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “ iskemia tekanan “ maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan (Moya J.M, 2004).
Pasien yang berada di tempat tidur untuk waktu yang lama, pasien dengan disfungsi motorik atau sensorik, dan pasien yang mengalami atrofi muskular dan reduksi bantalan antara kulit di atasnya dengan tulang di bawahnya cenderung untuk mengalami dekubitus (Brunner dan Suddarth, 2002).
Ulkus dekubitus dapat berkembang dalam beberapa jam saja bila tindakan perawatan tidak tepat dan kurang berhati-hati. Kulit yang memerah merupakan suatu tanda bahaya. Ulkus dekubitus yang menyembuh juga sangat rentan untuk kembali rusak. Penyembuhan agaknya lebih ditentukan oleh kesehatan umum dari pada perawatan lokal saja (T.Declan Walsh, 1997).
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5 – 9,4 % dari populasi umum orang dewasa yang dirawat di rumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al, 1997; Jordan dan Nicol, 1977; David et al, 1983). Pada populasi pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, insidens dekubitus dapat menjadi jauh lebih tinggi (Exton-Smith, 1987).
Keberhasilan pengobatan dekubitus melalui pembedahan dimulai pada saat perang dunia II ketika para dokter dihadapkan pada meningkatnya jumlah pasien muda yang menderita cedera saraf spinal. Pada saat yang sama, diketahui pula bahwa diet tinggi protein dibutuhkan untuk mengatasi keseimbangan nitrogen negative pada pasien dengan luka terbuka yang kronis (Mulholland et al, 1943). Sejak itu, meskipun pencegahan dan pengobatan dekubitus telah diteliti secara luas, hanya terdapat sedikit bukti yang menunjukkan adanya penurunan insidens dekubitus atau adanya suatu perbaikan dalam pengobatannya. Dalam penelitian besar yang dipublikasikan pada tahun 1983, perawat diketahui telah menggunakan 98 substansi yang berbeda untuk mengobati dekubitus (David et al, 1983). Insidens dekubitus dapat secara nyata diturunkan bila penanggungjawab di bidang kesehatan atau rumah sakit telah mengembangkan suatu kebijakan tentang pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diketahui dan dilaksanakan oleh semua karyawan (Livesley, 1987; Hibbs, 1988). Kebutuhan untuk mengenalkan pelayanan pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diorganisasi dan diaudit dengan tepat, telah disadari oleh para dokter dari Royal College (1986), tetapi kebanyakan dokter tidak memandang pencegahan dan penatalaksanaan dekubitus sebagai tanggung jawab mereka (Moya J.M, 2004).
Adapun faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai penunjang terhadap terjadinya dekubitus mencakup immobilitas, kerusakan persepsi sensori dan/atau kognisi, penurunan perfusi jaringan, penurunan status nutrisi, friksi dan gaya tarikan, peningkatan kelembaban, dan perubahan kulit yang berhubungan dengan usia.
Immobilitas. Bila seseorang tidak bergerak dan tidak aktif, jaringan kulit dan subkutan mengalami penekanan oleh benda di mana orang tersebut beristirahat, seperti kasur, tempat duduk atau traksi. Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan lamanya immobilitas. Jika penekanan berlanjut cukup lama, akan terjadi trombosis pembuluh darah kecil dan nekrosis jaringan, yang mengakibatkan dekubitus.
Kerusakan persepsi sensoro dan/atau kognisi. Pasien yang mengalami kehilangan sensori, penurunan tingkat kesadaran, atau paralysis dapat tidak merasakan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan tekanan berkepanjangan pada kulit. Oleh karenanya, mereka tidak akan mengubah posisi mereka untuk menghilangkan tekanan. Sehingga dekubitus dapat terjadi dengan periode yang sangat singkat.
Penurunan perfusi jaringan. Segala kondisi yang menurunkan sirkulasi dan nutrisi pada kulit dan jaringan subkutan meningkatkan risiko terjadinya luka dekubitus.
Penurunan status nutrisi. Defisiensi nutrisi, anemia dan gangguan metabolic juga mendukung terjadinya luka dekubitus.
Friksi dan Gaya Tarikan. Otot yang spastic dan paralysis meningkatkan kerentanan pasien terhadap luka dekubitus yang berhubungan dengan friksi dan gaya tarikan.
Peningkatan kelembaban. Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat perspirasi, urine, feses, atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi terhadap bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi. Kulit yang teriritasi lebih rentan terhadap terjadinya dekubitus.
Pengaruh usia lanjut. Pada lansia kulit mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen dermal, dan elastisitas jaringan. Oleh karena itu, lansia lebih rentan terhadap luka dekubitus.
Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mengambil 4 faktor di antaranya sebagai variabel penelitian yakni immobilitas, kerusakan persepsi sensori dan/atau kognisi, penurunan status nutrisi dan pengaruh usia lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar