BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan
penyakit kronis, pasien yang lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu lama,
bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh pasien-pasien
yang dirawat di rumah sakit. Menurut Chapman dan Chapman, 1986, hal.106,
mendefinisikan dekubitus sebagai suatu daerah kerusakan seluler yang
terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit, sehingga menyebabkan “
iskemia tekanan “ maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress
mekanik terhadap jaringan (Moya J.M, 2004).
Pasien yang berada di tempat tidur untuk waktu yang lama,
pasien dengan disfungsi motorik atau sensorik, dan pasien yang mengalami atrofi
muskular dan reduksi bantalan antara kulit di atasnya dengan tulang di bawahnya
cenderung untuk mengalami dekubitus (Brunner dan Suddarth, 2002).
Ulkus dekubitus dapat berkembang dalam beberapa jam saja bila tindakan
perawatan tidak tepat dan kurang berhati-hati. Kulit yang memerah merupakan
suatu tanda bahaya. Ulkus dekubitus yang menyembuh juga sangat rentan untuk
kembali rusak. Penyembuhan agaknya lebih ditentukan oleh kesehatan umum dari
pada perawatan lokal saja (T.Declan Walsh, 1997).
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5 – 9,4 % dari populasi umum
orang dewasa yang dirawat di rumah sakit, menderita paling sedikit satu
dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit (Barbenel et al, 1997; Jordan dan
Nicol, 1977; David et al, 1983). Pada populasi pasien lanjut usia yang dirawat di
rumah sakit, insidens dekubitus dapat menjadi jauh lebih tinggi (Exton-Smith,
1987).
Keberhasilan pengobatan dekubitus melalui pembedahan dimulai
pada saat perang dunia II ketika para dokter dihadapkan pada meningkatnya
jumlah pasien muda yang menderita cedera saraf spinal. Pada saat yang sama,
diketahui pula bahwa diet tinggi protein dibutuhkan untuk mengatasi
keseimbangan nitrogen negative pada pasien dengan luka terbuka yang kronis
(Mulholland et al, 1943). Sejak itu, meskipun pencegahan dan pengobatan
dekubitus telah diteliti secara luas, hanya terdapat sedikit bukti yang
menunjukkan adanya penurunan insidens dekubitus atau adanya suatu perbaikan
dalam pengobatannya. Dalam penelitian besar yang dipublikasikan pada tahun
1983, perawat diketahui telah menggunakan 98 substansi yang berbeda untuk
mengobati dekubitus (David et al, 1983). Insidens dekubitus dapat secara nyata
diturunkan bila penanggungjawab di bidang kesehatan atau rumah sakit telah
mengembangkan suatu kebijakan tentang pencegahan dan pengobatan dekubitus yang
diketahui dan dilaksanakan oleh semua karyawan (Livesley, 1987; Hibbs, 1988).
Kebutuhan untuk mengenalkan pelayanan pencegahan dan pengobatan dekubitus yang
diorganisasi dan diaudit dengan tepat, telah disadari oleh para dokter dari Royal
College (1986), tetapi kebanyakan dokter tidak memandang pencegahan dan
penatalaksanaan dekubitus sebagai tanggung jawab mereka (Moya J.M, 2004).
Adapun faktor-faktor yang teridentifikasi sebagai penunjang
terhadap terjadinya dekubitus mencakup immobilitas, kerusakan persepsi sensori
dan/atau kognisi, penurunan perfusi jaringan, penurunan status nutrisi, friksi
dan gaya
tarikan, peningkatan kelembaban, dan perubahan kulit yang berhubungan dengan
usia.
Immobilitas. Bila
seseorang tidak bergerak dan tidak aktif, jaringan kulit dan subkutan mengalami
penekanan oleh benda di mana orang tersebut beristirahat, seperti kasur, tempat
duduk atau traksi. Terjadinya dekubitus secara langsung berhubungan dengan
lamanya immobilitas. Jika penekanan berlanjut cukup lama, akan terjadi
trombosis pembuluh darah kecil dan nekrosis jaringan, yang mengakibatkan
dekubitus.
Kerusakan persepsi
sensoro dan/atau kognisi. Pasien yang mengalami kehilangan sensori,
penurunan tingkat kesadaran, atau paralysis dapat tidak merasakan ketidaknyamanan
yang berkaitan dengan tekanan berkepanjangan pada kulit. Oleh karenanya, mereka
tidak akan mengubah posisi mereka untuk menghilangkan tekanan. Sehingga
dekubitus dapat terjadi dengan periode yang sangat singkat.
Penurunan perfusi
jaringan. Segala kondisi yang menurunkan sirkulasi dan nutrisi pada kulit
dan jaringan subkutan meningkatkan risiko terjadinya luka dekubitus.
Penurunan status
nutrisi. Defisiensi nutrisi, anemia dan gangguan metabolic juga mendukung
terjadinya luka dekubitus.
Friksi dan Gaya Tarikan. Otot
yang spastic dan paralysis meningkatkan kerentanan pasien terhadap luka
dekubitus yang berhubungan dengan friksi dan gaya tarikan.
Peningkatan kelembaban.
Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat perspirasi, urine, feses,
atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi terhadap
bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi. Kulit yang
teriritasi lebih rentan terhadap terjadinya dekubitus.
Pengaruh usia lanjut.
Pada lansia kulit mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen dermal, dan
elastisitas jaringan. Oleh karena itu, lansia lebih rentan terhadap luka
dekubitus.
Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mengambil 4
faktor di antaranya sebagai variabel penelitian yakni immobilitas, kerusakan
persepsi sensori dan/atau kognisi, penurunan status nutrisi dan pengaruh usia
lanjut.